Keajaiban Sidis diawali ketika dia bisa
makan sendiri dengan menggunakan sendok pada usia 8 bulan. Pada usia
belum genap 2 tahun, Sidis sudah menjadikan New York Times sebagai teman
sarapan paginya. Semenjak saat itu namanya menjadi langganan headline
surat kabar : menulis beberapa buku sebelum berusia 8 tahun, diantaranya
tentang anatomy dan astronomy. Pada usia 11 tahun Sidis diterima di
Universitas Harvard sebagai murid termuda. Harvardpun kemudian terpesona
dengan kejeniusannya ketika Sidis memberikan ceramah tentang Jasad
Empat Dimensi di depan para professor matematika. Lebih dasyat lagi :
Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan bisa menerjamahkannya
dengan amat cepat dan mudah. Ia bisa mempelajari sebuah bahasa secara
keseluruhan dalam sehari !!!!
Orang kemudian menilai bahwa kehidupan
Sidis tidaklah bahagia. Popularitas dan kehebatannya pada bidang
matematika membuatnya tersiksa. Beberapa tahun sebelum ia meninggal,
Sidis memang sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika –
sesuatu yang selama ini telah melambungkan
namanya. Dalam kehidupan sosial, Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia juga sering diasingkan oleh rekan sekampus. Tidak juga pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kerahasiaan, bekerja dengan gaji seadanya, mengasingkan diri. Ia berlari jauh dari kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain. Namun, kesadaran memang sering datang terlambat.
namanya. Dalam kehidupan sosial, Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia juga sering diasingkan oleh rekan sekampus. Tidak juga pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kerahasiaan, bekerja dengan gaji seadanya, mengasingkan diri. Ia berlari jauh dari kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain. Namun, kesadaran memang sering datang terlambat.
Mengharukan memang usaha Sidis. Ada
keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang Ayah, untuk menjadi diri
sendiri. Walau untuk itu Sidis tidak kuasa. Pers dan publik terlanjur
menjadikan Sidis sebagai sebuah
berita. Kemanapun Sidis bersembunyi, pers pasti bisa mencium. Sidis tidak bisa melepaskan pengaruh sang ayah begitu saja. Sudah terlanjur tertanam sebagai sebuah bom waktu, yang kemudian meledakkan dirinya sendiri.
berita. Kemanapun Sidis bersembunyi, pers pasti bisa mencium. Sidis tidak bisa melepaskan pengaruh sang ayah begitu saja. Sudah terlanjur tertanam sebagai sebuah bom waktu, yang kemudian meledakkan dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar